Hasnul Suhaimi dan Perkembangan Industri Telekomunikasi Indonesia

Byjmzachariascom

Hasnul Suhaimi dan Perkembangan Industri Telekomunikasi Indonesia

Perkembangan industri telekomunikasi khususnya komunikasi bergerak, mulai bertumbuh signifikan sejak teknologi GSM masuk di Indonesia (1994) menggantikan teknologi AMPS dengan segala keunggulannnya mulai cakupannya, mobilitas roaming serta ukuran dan harga ponsel yang menjadi lebih terjangkau konsumen. Sejarah operator GSM dimulai dari Satelindo (1994), Telkomsel (1995) dan XL (1996) kala itu. Menarik melihat perkembangan telekomunikasi bergerak dalam kurun waktu lebih dari dua dasa warsa, saya pribadi mengklasifikasinya dalam periode tersebut sebagai berikut: fase adaptasi dan pertumbuhan (1994-2006), fase yield (2007-2010), konsolidasi operator (2011- ? ).

Pada masa awal saat adaptasi teknologi baru (GSM) diikuti pertumbuhan yang signifikan (masa keemasan) tentu menarik hadirnya operator baru lainnya seperti IM3 yang dimiliki Indosat (saat itu core business-nya di bidang SLI: Sambungan Langsung Internasional berikut layanan satelit) dan memiliki saham di Telkomsel. Setelah menjual seluruh sahamnya di Telkomsel, Indosat mengakusisi Satelindo dan melakukan merger dengan IM3 menjadi operator GSM Indosat. Sekitar 2005 hadir operator baru dengan teknologi alternatif lainnya (CDMA) seperti Mobile 8, Esia, Flexi (Telkom), Star One (Indosat), Ceria (Sampoerna Telekom, di sekitar Sumatera), kemudian dilanjutkan hadirnya Lippo Telekom (mulai dari Jawa Timur yang kemudian melebur jadi Natrindo Selular dan diakusisi oleh Maxis Malaysia dan Saudi Telekom, kemudian menjadi Axis dan pada 2013 diakusisi XL Axiata), Charoen Phokpand membeli lisensi 3G yang kemudian bermitra dengan Huthchinson (Three).

Mengiringi Perjalanan Tiga Operator Telekomunikasi
Dalam kurun waktu hampir 20 tahun banyak perubahan signifikan yang terjadi menandakan dinamika industri komunikasi bergerak di tanah air. Dan tentunya banyak pihak yang berperan dan memberi sumbangsih di dalamnya, rasanya terlalu banyak kalau disebutkan satu per satu. Menariknya ada sosok istimewa yang berkiprah pada perjalanan operator GSM tiga besar (Tellkomsel, Indosat dan XL Axiata). Sosok tersebut adalah Hasnul Suhaimi yang telah berkarir selama 33 tahun ini, tidak hanya bertangan dingin menghadapi tantangan dalam perjalanan memimpin ke tiga operator besar tersebut, namun juga ikut memberi pembelajaran pada publik baik dalam menjalankan good corporate governance termasuk di dalamnya transparansi informasi pada para stakeholder.
Berikut milestone perjalanan karir berikut portfolionya yang dapat menjadi pembelajaran dan inspirasi kita bersama:

Pengadaan Teknologi dan Investasi Besar
Pada akhir 90-an meski saat itu jumlah pemain masih sedikit, karakteristik pengguna ponsel GSM menunjukkan pola pergerakan dinamis termasuk roaming terutama saat perjalanan bisnis dan perjalanan antar kota. Saat itu XL (ProXL) bermain segmen premium dengan kampanye XL Bening-nya menawarkan free-roaming untuk penerima panggilan. Sedangkan Telkomsel(Simpati) yang coverage area saat itu hanya per provinsi, dimana saat itu jika pelanggannya melakukan perjalanan ke luar coverage area meski hanya menerima panggilan telepon akan terkena biaya roaming. Hal itu tidak jarang bagi konsumen Telkomsel bila saat berpergian keluar kota, jika menerima telepon akan menjawab singkat dan cepat sambil menekankan kalau sedang berada di luar kota agar terkena biaya roaming seminimal mungkin.

Menarik melihat korelasi pengalaman berkomunikasi saat itu dengan pengalaman seorang Hasnul Suhaimi yang sejak tahun 1998 ditugaskan menjadi Direktur Niaga Telkomsel, dimana pada tahun tersebut terjadi krisis moneter berdampak ke semua lini, tidak terkecuali daya beli serta demand juga yang menurun termasuk produk pasca bayar HALO (subscription fee per bulan Rp 65.000) meski tarif percakapan per menit 30% lebih murah dari produk kompetitor. Selain itu, problem daya saing produk prabayar andalan Telkomsel Simpati saat itu seperti roaming & coverage area sebagaimana sudah disinggung sebelumnya.

Hasnul pun memperjuangkan implementasi Inteligent Network yang berperan dalam pengaturan fitur-fitur layanan berikut dengan model pentarifannya secara dinamis. Telkomsel saat itu kemudian menawarkan free-roaming bagi penerima panggilan telepon meski berada di luar coverage areanya sepanjang masih di dalam negeri. Yang jelas keberadaan Inteligent Netwrok memberi fleksibilitas dalam pemberlakuan layanan fitur dengan berbagai model pentarifan berikut kompleksitasnya dengan sumber daya yang lebih efisien. Setelah keberhasilan mengembangkan dan meluncurkan Simpati Nusantara dan kartu HALO Keluarga yang mengdongkrak peningkatan (pertumbuhan) 10% dari pangsa pasar sebelumnya, kemudian masuk masa keemasannya sempat menyentuh dua per tiga pangsa pasar dengan Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) margin melebihi 70% seperti yang dituturkan Hasnul mengenang keberhasilan tersebut.
Paket HALO Kelurga ini merupakan inovasi dan solusi kartu HALO sebelumnya yang dikembangkan agar memungkinkan anggota keluarga menikmati layanan kartu HALO dengan konsep paket hemat keluarga saat itu dengan subscription fee per bulan untuk:
-Kartu Utama : Rp. 65.000,00
-Kartu Tambahan 1: Rp 45.000,00
-Kartu Tambabahan 2-5 : Rp 25.000,00

20150311_103123

Penguasaan Medan, Strategi dan Target

Dua tahun setelah ditugaskan di Telkomsel (2000) Hasnul diminta kembali ke Indosat, mendapat tugas untuk membidani operator baru IM3 yang direncanakan hadir pada tahun 2001. Pada saat itu (2000) pasar sudah didominasi oleh ke tiga pionir operator GSM besar yang masing-masing memiliki keunggulan komparatifnya masing-masing oleh tiga operator besar: Telkomsel (Coverage), Satelindo (Price) dan XL (Quality). IM3 yang akan hadir mau tidak mau harus punya keunggulan kompetitif, di satu sisi competitive adventage mapping, seperti coverage, price and quality sudah ada leadernya. Hasnul melihat niche market dari value added service yang masih bisa digarap. Target market yang disasar saat itu adalah anak muda. Totalitas menyasar target anak muda dilakukan Hasnul beserta timnya termasuk berkonsultasi pada tokoh yang tahu pasar anak muda saat itu, dengan membahas meliputi Segmen, Targeting, Positioning, Product Feature, Consumer Benefit, Place, Promo dan semuanya on the track. Rencana harga pun yang ditetapkan hanya 10% lebih rendah dari market leader saat itu (Telkomsel). Saat seminggu sebelum lauching, Hasnul mendapatkan masukkan dari berbagai sumber bahwa price setting 10% lebih rendah dari market leader tersebut, cukup sensitive bagi anak muda sebagaimana yang menjadi main target IM3. Begitu mendapati hal itu bisa menjadi persoalan serius, apalagi pricing yang salah saat launching dampaknya sangat kritikal. Saat itu dalam waktu seminggu sebelum launching Hasnul beserta tim diperhadapkan isu pricing lebih tepatnya penentuan harga untuk lebih rendah dari pricing semula (10% lebih murah dari market leader) sampai opsi free pricing. Koordinasi lintas departemen pun dilakukan sampai dicapainya pricing starter-kit sim-card yang berkisar Rp. 5.000,00.

Setelah berkonsolidasi serta mendengar masukan dari dealer dan pelaku industri yang tahu pasar anak muda, termasuk mengenai sisi pricing yang cukup sensitive terutama pada segmen anak muda. Dengan investasi awal, IM3 meluncurkan layanannya dengan program dan competitive advantage dan targetnya sebagai berikut
-Launching di 6 kota Batam, Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta dan Bali. Saat itu berkontribusi 60 % dari market nasional,
-menggunakan frekuensi GSM 1800 MHz, dengan pertimbangan meksi coverage lebih pendek namun kapasitasnya 4 kali lebih bayak dibanding GSM 900 MHz,
-target market 58% segmen anak muda di 6 kota.

Strategi akusisi pelanggan dilakukan dengan memberi free-call selama 3 bulan. Hasilnya dalam 3 bulan market share pelanggan mencapai 5%, trafik naik namun masih belum ada revenue, di sisi lain pelanggan happy dengan program tersebut. Setelah masa honey-moon 3 bulan gratis, saatnya pemberlakuan tarif. Atas beberapa masukan termasuk dari dealer di lapangan, prediksi dampak dari time to chage setelah 3 bulan gratis, akan ada penurunan sebanyak 50%. Suatu tantangan lain yang harus dihadapi, mengingat tidak mudah untuk mengubah kondisi (pra-kondisi kan) apa lagi transisi ke pola yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya dalam hal ini mulai pemberlakuan tarif (berbayar). Kemudian pendekatan inovatif dilakukan, seminggu sebelum pemberlakuan tarif (berbayar) pelanggan dikirimi sms yang mengucapkan terima kasih atas kesetiaannya menggunakan layanan IM3 sambil diberi insentif pengiriman pulsa sebesar Rp 25.000 yang dapat digunakan saat pemberlakukan tarif. Bukan hanya itu saja, insentif lainnya tarif yang dikenakan pada bulan pertama hanya 50% dari tarif normal. Berkurangnya jumlah pelanggan pada masa transisi pun tidak dapat dihindarkan, kalkulasi sekitar 20%. Dari implementasinya, jumlah pelanggan berkurang hanya sekitar 5 % (tidak seperti kalkulasi awal 20 %).
Dalam 3 tahun target market tercapai. Pada tahun 2005 pelanggan IM3 mencapai 3 juta (8 % market share).

Babak Baru: Privatisasi, Stabilisasi dan Kompetisi
Saat Indosat menjual sahamnya di Telkomsel, yang hasilnya digunakan untuk mengakusisi Satelindo untuk kemudian di merger dengan IM3 dalam satu binsis induk operator GSM Indosat. Di tahun 2003 Hasnul diangkat menjadi salah satu direktur Indosat (Direktur Niaga), sebelum tiga tahun kemudian (2005) menjadi Direktur Utama Indosat. Babak baru dengan Indosat berserta tiga tantangan besar yang harus dihadapi saat itu:
1.Privatisasi Indosat, yang sebagian besar sahamnya dijual ke STT Singapura
2.Stabilisasi pasca akusisi Satelindo dan merger Satelindo-IM3
3.Kompetisi pasca Telkom diijinkan masuk pasar internasional dan Indosat masuk pasar domestik.

Merebut Pangsa Pasar: Menggeser Peringkat Dua
Setelah membidangi IM3 sejak 2000 yang menjadi cikal bakal operator GSM Indosat, meninggalkan Indosat (Juni 2006) Hasnul menerima tantangan baru untuk meningkatkan pertumbuhan dan pangsa pasar operator GSM lainnya XL.
Tantangan baru menahkodai XL adalah mendongkrak pertumbuhan XL sehingga merebut pangsa pasar sekaligus naik kelas menjadi peringkat dua pemimpin pasar. Pada masa itu XL memang berada di jajaran top three, dibawah Telkomsel (pemimpin pasar dan Indosat. Pada saat Hasnul masuk XL (September 2006) selisih market share XL dengan peringkat dua sekitar 10%. Target yang lebih realistis dibanding dengan pemimpin pasar saat itu dengan selisih market size lebih dari 50%. Meski XL mencapai performansi bagus pada tahun 2006, namun pada awal 2007 performansi pertumbuhan cenderung stagnan selama enam bulan. Berbagai program dan insentif seperti diskon, bonus bahkan dua kali menurunkan tarif tarif percakapan menjadi Rp 25 per detik (Rp 1.500 per menit, Februari 2007), kemudian pada kuartal ke 2 (April 2007) menjadi Rp 10 per detik (Rp 600 per menit) pun tidak cukup meningkatkan target penjualan (pertumbuhan). Di sisi lain berdasarkan pengamatannya kompetitor mampu bertumbuh rata-rata 25% y.o.y dengan kata lain market sedang bertumbuh (growing). Inilah yang mendorongnya untuk melakukan gebrakan dengan ide-ide yang out of the box.

20150311_101655

Kemudian dipelajari akar permasalahannya, value preposition XL saat itu serba nanggung (tidak premium … tidak juga low cost), menganggab paling murah diantara tiga pemain besar, namun tidak cukup untuk menggeser preferensi konsumen pada pemain nomor satu saat itu. Di sisi lain ada market di luar itu yang diisi operator-operator CDMA, namun value preposition XL khususnya sisi pricing yang masih dianggap masih lebih tinggi. Pada saat itu CDMA dipandang teknologi baru dan mampu menekan biaya, sehingga terjadi semacam dikotomi antara pasar GSM dengan harga mahal dengan coverage yang lebih luas dengan pasar untuk CDMA yang bertarif lebih murah dengan coverage terbatas.

Berkaitan dengan target yang dibebankan oleh induk perusahaan pada Hasnul untuk menaikan pertumbuhan XL sehingga bisa menduduki peringkat ke dua, Hasnul realistis melihat kondisi tersebut, pivoting dilakukan dalam bentuk perubahan strategi akusisi konsumen ke konsumen yang menjadi target market operator CDMA, cara yang ditempuh dengan kembali menurunkan harga namun di sisi lain harus tetap beri kontribusi keuntungan bagi perusahaan. Di sini lah tantangannya, apalagi kondisi keuangan perusahaan sudah ditekan dengan dua kali penurunan tarif, belum lagi tarif rata-rata percakapan CDMA saat itu sekitar Rp 60-70 per menit. Sedangkan tarif percakapan per menit yang terakhir sekitar Rp 600 per menit (Rp 1 per detik). Setelah berkoordinasi dengan tim Corporate Strategi-nya, langkah yang perlu ditempuh dengan penurun tarif per menit harus disertai penurunan pengeluaran lain seperti investasi dan biaya per menitnya sambil volume trafik nya dinaikan (harus besar). Hasnul kemudian berdiskusi dengan Direktur Keuangan dan Direktur Network Service saat itu, dengan wacana menurunkan tarif selevel dengan operator CDMA dengan kapasitas trafik yang 4 kali lebih banyak. Dari aspek jaringan dan biaya (keuangan) tidak ada masalah, wacana pun segera diaktualisasikan dengan tim kecil (Blue Thunder) yang dibentuk oleh Hasnul (Juli 2007) dengan tugas selama dua bulan untuk membuat rekomendasi perhitungan tarif selevel tarif CDMA beserta bagaimana implentasinya dan analisa dampaknya termasuk terhadap jaringan dan biaya lainnya. Tim yang terdiri yang beranggotakan 7 orang dengan latar belakang yang berbeda-beda seperti sales, marketing, keuangan dan teknik dengan beragam level manajerial dari junior manager, manager, general manager hingga vice president. Sebagai leader Hasnul terus memantau perkembangan kerja Blue Thunder dan sampai dua minggu menjelang tenggat, tim belum menghasilkan sesuatu yang signifikan. Dalam waktu tersisa untuk memacu kerja tim, Hasnul menantang mereka untuk berpacu dengan dirinya dalam menyelesaikan tugas tersebut. Agar lebih obyektif ditunjukkan direksi sebagai juri. Pada tenggat waktu yang ditentukan akhirnya Blue Thunder berhasil menyelesaikan tugasnya dan hasilnya lah yang dipilih untuk diimplementasikan. Hasnul pun segera membawa rencana tersebut untuk dilaporkan pada pemegang saham. Pemegang saham setuju dengan skema penurunan tarif XL yang baru saat itu dengan syarat minute of usage harus naik. Hal ini pun harus disertai empat langkah utama dalam eksekusinya:
1.Menurunkan tarif sebesar 90 %, dari Rp 600 per menit menjadi Rp 60 per menit (Rp 1 per detik).
2.Meningkatkan pelanggan sebanyak-banyaknya. Tantangannya opsinya hanya didukung dengan sumber daya yang sudah ada, bekerja lebih efisien dan produktif.
3.Menaikan trafik. Menaikan trafik 4 kali dengan penyesuaian perubahan trafik per pelanggan, jumlah pelanggan yang meningkat serta operasional dan penyediaan infrastrukturnya.
4.Menurunkan biaya, dengan cost cutting dan efiseinsi pada semua kegiatan perusahaan.
Langkah utama tersebut harus berkontribusi pada profit margin dan pertumbuhannya.

Menarik mencermati strategi insentif tarif (penuruan tarif 90%) pada langkah pertama, sekaligus berkontribusi meningkatkan pelanggan sebanyak-banyaknya (langkah ke dua) dan juga peningkatan trafik sebagaimana target peningkatan trafik 4 kali. Pada saat itu voice usage per user hanya 40 menit per bulan (1,3 menit per hari, sekitar 57 detik/panggilan telepon), jadi voice usage per user setiap kali telepon masih di bawah 1 menit. Agar berkontribusi pada peningkatan trafik dan profit margin, model perhitungan diskon 90% mulai setelah dua menit pertama. Dengan skema perhitungan ini, akan menarik konsumen untuk makin lama berkomunikasi dengan telepon seluler akan mendapat akumulasi pemberlakukan diskon 90% tarif percakapan. Hal inilah yang merubah kebiasaan dalam berkomunikasi, meningkatkan voice of usage per user per bulan (dari 40 menjadi 500 minute of usage per user per bulan) serta juga memberi opsi menarik untuk berkomunikasi dengan murah yang pada akhirnya menarik semakin banyak pelanggan (langkah ke dua).

Penurunan tarif (Rp 1/detik) mendapat perhatian konsumen, memaksa tidak hanya operator CDMA yang semula menjadi target kompetisi, namun pemain top three pun turun gunung untuk head-to-head dalam perang tarif. Hasnul beserta tim-nya harus putar otak untuk menemukan inovasi lainnya gratis telpon dan sms mulai 00.00-06.00. Hal ini berdasarkan hasil riset pada jam non-peak hour pada jam tidur jaringan pun menjadi tidak sibuk, dengan demikian promo telepon bebas mulai jam 00.00-06.00 menjadi gimmick untuk memikat konsumen yang pada keseharian tetap butuh berkomunikasi pada jam sibuk. Dalam menyiasati perkembangan iklim kompetisi, berbagai program dan paket yang dapat dipilih oleh konsumen secara fleksibel lewat *123#. Program-program baru selanjutnya tetap dapat memberi insentif konsumen yang sempat merasakan fasilitas dari program sebelumnya yang sudah habis, agar tetap bertahan (customer retention).

20150311_102638

Akhirnya dalam tahun ke empat (2010, mundur setahun dari visi awal 123) XL berhasil menduduki peringkat ke dua, dengan membukukan pendapatan naik 3x lipat, durasi percakapan per user 400-500 menit per bulan (naik 4x lipat, sebelumnya cuma 40 menit per bulan)

HSinClass20072010result

Pada kompetisi yang ketat ini, mulai tahun 2007 tidak hanya pada perang harga serta juga perang iklan. Saya pun menjadi saksi kerasnya perang iklan serta sempat mendokumentasikan artikel yang dimuat pada Majalah Selular (November 2007). Melihat gejala perang harga yang begitu sengit, sampai Menteri Kominfo saat itu turun tangan menentukan tarif batas bawah. Pada akhir tahun 2010 Hasnul mencanangkan XL tidak menarget pertumbuhan yang terlalu agresif, perlunya seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) ikut menjaga industri telekomunikasi seluler, menghentikan perang harga yang telah berlangsung berlarut-larut (Koran Jawa Pos, Selasa 13 Maret 2012, halaman 3). Hasnul beralasan karena harga sudah hampir sama rendahnya (equalibrium sudah terbentuk) dan tidak ada ruang untuk elastisitas harga. Termasuk dengan jumlah operator sebanyak 10 operator pada 2010 [jumlah operator terbanyak pada tahun 2009, 11 operator: Telkomsel, Indosat,XL, Esia, Flexi, Mobile 8, Starone, Ceria, Three, Smart dan Axis] dengan kondisi market yang jenuh, berikut pangsa pasar didominasi pemain tiga besar, tantangan besar yang harus dihadapi pemain lain mendorong perlunya konsilidasi, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah wawancara dengan New Wave Marketing Marketeers April 2011. Tentang perlunya konsolidasi akhirnya ramai diwacanakan kembali pada tahun 2013/2014 (Referensi Selular Indonesia 2014). Saya melihat konsteks tantangan yang ada tidak hanya makin padat dan kecilnya market size yang bisa diperebutkan, namun juga konsolidasi teknologi dalam jangka panjang seperti pada teknologi CDMA untuk pindah ke lompatan teknologi lain LTE agar untuk bertahan, serta dalam konteks secara makro, konsolidasi lebih ke arah aksi korporasi dalam bentuk akusisi/merger. Dan terlihat beberapa konsolidasi yang terjadi, Mobile 8 dan Smart (SmartFren), XL Axiata mengakusisi Axis, migrasi Flexi dari fixed wireless access ke gsm (apakah akan dilebur menjadi Kartu AS Telkomsel, belum ada pemberitahuan lebih lanjut), berikut beberapa penjajakan merger beberapa pemain lain yang tidak berakhir dengan kesepakatan.

Pemimpin Ikon Perusahaan dan Berperan Mencerdaskan Publik
Saya mengikuti banyak informasi publik dari seorang Hasnul Suhaimi baik melalui wawancara dengan media, seminar, kuliah, blog, sosial media serta buku mengenai dirinya baik yang ditulis orang lain (‘The CEO Way’, penulis Rizagana, Tristar Publishing) maupun buku ditulisnya sendiri (‘Everyone can Lead’, Hasnul Suhaimi, penerbit B first) . Dalam buku karangannya Everyone can Lead, Hasnul menyadari perannya sebagai pemimpin suatu perusahaan yang mengedepankan good corporate governance, bersentuhan dengan publik sehingga perlu membina hubungan intens dengan stakeholder seperti pelanggan (masyarakat umum), regulator, institusi akademis, media massa. Sosok Hasnul ini cukup menonjol sebagai CEO yang rajin memberi informasi, membagi pemikirannya untuk perkembangan ekonomi serta kesiapan putra bangsa untuk berkiprah di industri tanah air serta mempunyai daya saing global.

Beberapa pokok pikiran Hasnul Suhaimi seperti:
-Sejak awal mengingatkan adanya peralihan tren konsumsi layanan voice dan sms ke layanan data (sejak tahun 2008) termasuk perlunya penyediaan layanan komunikasi data dan derivatifnya termasuk aplikasi dan konten layanan digital.
-Saat market sudah masuk fase ekuilibrium dimana elastistas harga sudah tidak berkontribusi signifikasn, perang tarif hendaknya dihentikan (akhir 2010).
-Sesuai dengan market yang sudah saturated mulai 2010 perlunya konsolidasi ke 10 operator yang dipandang tidak efisien dalam hal pembiayaan dibanding dengan prosentasi pendapatan (market size) yang tengah diperebutkan (dikuasai dengan beberapa operator besar).
-Perlunya menyelamatkan market dan industri telekomunikasi dengan Coopetition. Bekerjasama (cooperation) dalam membangun ekosistem telekomunikasi dengan kompetisi yang sehat. Seperti penggunaan Tower BTS bersama, kode RBT seragam serta layanan e-money bekerjasama antar operator dengan perbankan,otoritas keuangan dan entitas lainnya.
-Termasuk berbagai pengalaman keberhasilan seperti yang dibahas sebelumnya serta sharing pengalaman sebagai pelajaran mahal (menaikan tarif pada tahun 2008 dan preactivating starter-kit (akhir 2006).
-Perlunya komponen pendukung operasional yang didukung komponen dan industri nasional sehingga dapat menyeimbangan capex infrastruktur yang didominasi oleh barang impor yang memberi dampak pada penyerapan (penguatan mata uang dolar AS/pelemahan rupiah) yang digunakan dalam belanja infrastruktur.
-Memberdayakan masyarakat dengan program seperti ’XL Young Talent’, ’XL Future Leaders’dll.

Tidak heran dengan gebrakan dan kepemimpinannya berbagai penghargaan diterimanya seperti ’The Best CEO’ versi majalah SWA (2009, 2010), ’CEO Idaman’ versi majalah Warta Ekonomni (2009, 2013), ’Telecom CEO of the Year’ versi Telecom Asia Awards (2011), ’CEO of the Year’ versi Frost & Sulivan Asia Pasific ICT Awards (2011), ’Best CEO of the Year’ versi majalah Selular (2011, 2012, dan 2013).

Kesuksesan Peralihan Karyawan ke Manage Service
Sebagaimana tren yang berlangsung di negara lain, efisiensi menjadi keharusan bagi operator untuk bertahan. Tidak terkecuali dalam pemanfaatan sumber daya. Efisiesi dalam bidang SDM lebih condong pada fokus pada core business operator dengan mentransfer departemen infrastruktur ke unit bisnis manage service yang biasa dikelola oleh vendor jaringan. Vodafone Australia pun juga pernah melakukan transfer karyawannya ke manage service yang dikelola oleh Nokia Australia. XL pun melakukan hal yang tidak jauh berbeda,pada bulan Januari 2012 dengan mentransfer 1200 karyawan ke unit bisnis manage service yang dikelola Huawaei dengan konsensi kerjasama selama 7 tahun (Referensi Selular Indonesia 2013). Menurut pengamatan saya waktu itu proses transfer berlangsung smooth nyaris tidak terdengar gejolak penolakan yang terjadi.

Pada akhir masa kerjanya, performa aksi kegiatan XL Axiata mendatang tidak lepas dari tantangan demi tantangan baru lainnya mulai dari layanan OTT dari (Google, Facebook, Youtube dkk) yang menjadi perhatian (dikeluhkan) banyak operator telko dunia, interstitial ads. dan offdeck ads. yang menjadi keluhan ekosistem internet lain seperti internet publisher (media online) serta toko online yang sumber pendapatan dari iklan online, berikut perubahan landscape telekomunikasi untuk masuk ke layanan digital seperti M-Commerce (XL Elevenia), M-Money, M-Payment, M-Ads, layanan M2M (PoS, Meter Reading, Mobile Surveillance/Tracking and Vending Machine), Internet of Things (IoT), layanan Cloud (Xcloud untuk Usahawan 1.0) memberi energi pada penerus kepemimpinanan pasca Hasnul Suhaimi untuk berlari lebih kencang dan tangkas dalam menghadapi tantangan jaman.

*catatan tambahan:
Mungkin tidak banyak yang tahu, dalam karirnya selama 33 tahun di lapangan (bidang telekomunikasi) sejak teknologi GSM masuk ke Indonesia. Hasnul Suhaimi sempat berkiprah dan berkontribusi (1995) pada bisnis layanan komunikasi internasional (SLI 001), yang saat itu menghadapi kompetisi sengit melawan pendatang baru SLI 008 Satelindo yang berhasil merebut pasar pada tahun pertama kehadirannya.
Keberhasilan kampanye Tactical Ad-nya (SLI 001) yang mungkin masih top of mind sampai sekarang seperti iklan ikan hias dalam kolam, atau asap jet tempur dalam formasi angka 001 serta jinglenya yang juga berhasil mendapatkan penghargaan Citra Pariwara Award serta berhasil menahan laju 008 dengan kerja keras lebih dari 2 tahun.

Keterangan foto: foto saat acara Power Talk di IPMI Business School 11 Maret 2015

Tentang Penulis : JM Zacharias ( @jmzacharias ) saat ini berprofesi sebagai business strategist, berkarir profesional dalam bidang produk, sales dan marketing lebih dari satu dekade. Pengalaman karir profesionalannya di berbagai industri meliputi retail, consumer electronic, teknnologi informasi dan telekomunikasi baik Business to Customer (B2C) maupun Business to Business (B2B). Dengan beragam pengalaman di perusahaan multinasional, nasional serta startup pada bidang teknologi, sales marketing dan manajemen serta iklim kerja lintas budaya antar bangsa dalam portofolio karirnya di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara turut memperkaya wawasan dan melebarkan preperspektif untuk terus belajar dan berbagi. Mengkomunikasikan ide dan strategi bisnis dilakukannya dalam bentuk artikel, pelatihan dan kegiatan konsultasi. Informasi detail dapat di lihat pada JMZacharias.Com Strategi Bisnis & Teknologi . Anda dapat mengubungi melalui tautan kami.

About the author

jmzachariascom administrator

*JM Zacharias [ JMZacharias Insights Podcast ]: | Business Strategist | Writer | Guest Speaker | Trainer | Consultant | @ Business Strategy, Technology & Productivity | Business Strategist & Founder HidupProduktif.Com JMZacharias.Com | Penulis | Pembicara | Trainer | Konsultan | @ Strategi Bisnis , Teknologi & Produktifitas |

Leave a Reply