Tag Archive crowdsourcing

Byjmzachariascom

Perubahan, Adaptasi dan Action di era Sharing Economy

Kejadian demo dan bentrok 22 Maret lalu antara pengemudi angkutan umum dengan pengemudi/mitra layanan transportasi berbasis aplikasi yang semakin menguak puncak gunung es permasalahan yang belum mencapai titik temu. Di satu sisi angkutan transportasi umum resmi yang beroperasi dibawah ijin serta proses administrasi dari lembaga pemerintah yang berwenang, merasa layanan transportasi berbasis aplikasi dengan leluasa beroperasi tanpa prosedur ijin sebagaimana yang harus dijalani angkutan umum jalan raya sebagaimana yang diamanatkan Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( UU Nomor 22 Tahun 2009 ). Disamping itu dengan model bisnis layanan transportasi berbasis aplikasi ini, memotong komponen biaya-biaya yang ada pada angkutan umum, sehingga berkontribusi pada harga yang ditawarkan lebih kompetif. Keberadaan layanan transportasi berbasis aplikasi sudah hadir sejak tahun lalu. Namun keberadaannya belum dianggap menjadi ancaman atau dipermasalahkan bak anak singa yang perlu waktu untuk menjadi singa untuk kemudian mulai diperhitungkan. Begitu minat partner pengemudi/mitra layanan transportasi berbasis aplikasi sambutan pelanggannya membuat perkembanganlayanan transportasi berbasis aplikasi ini, barulah muncul penolakan terhadap keberadaan layanan transportasi berbasis aplikasi yang dianggap ‘mengancam’ keberadaan angkutan umum yang sebelumnya menjadi satu-satunya opsi angkutan umum resmi. Di sisi lain pemerintah selaku regulator dihadapkan persoalan menjadi semakin pelik karena belum ada titik temu peraturan yang mengatur layanan transportasi berbasis aplikasi ini.

Bila selama ini, pengguna angkutan umum dalam hal ini taksi dan ojek pangkalan akan mudah tersegmentasi karena adanya perbedaan (disparitas) harga berikut servis. Namun sejak adanya ojek dengan layanan transportasi berbasis aplikasi, yang menawarkan standar kemudahan akses (pemesanan yang cepat dan jaminan kepastian), kenyamanan berikut standar operasi prosedur yang harus dipatuhi partner dalam hal ini pengemudinya, menyebabkan gap servis yang semakin mendekati dengan servis yang diberikan taksi namun dengan harga yang lebih kompetitif. Memang tidak bisa membandingkanya secara apple-to-apple, namun khusus di Jakarta aspek kemacetan yang menjadi momok dalam akses transportasi di jalan dan kendaran roda dua (ojek) mempunyai keunggulan komparatif untuk menggunakan banyak alternatif rute baik manuver sela-sela kemacetan serta melalui jalan-jalan tikus. Hal ini yang membuat persaingan lintas moda transportasi menjadi terbuka terutama jika servis yang ditawarkan gap-nya tidak lebar sehingga harga menjadi komponen kunci untuk konsumen men-switch preferensi layanan apa yang ingin digunakan.

Pasca kejadian demo dan bentrokan 22 Maret lalu, pemerintah membuat gebrakan cepat [mestinya tidak harus menunggu sampai terjadi bentrokan secara horisontal tersebut di lapangan) untuk menarik suatu kejelasan bahwa layanan transportasi berbasis aplikasi ini berhak diberi kesempatan untuk hidup (beroperasi) sesuai dengan perkembangan jaman, di sisi lain pemerintah memberlakukan kewajiban yang sama yang harus dijalani juga layanan transportasi berbasis aplikasi ini untuk mengurus perijinan dan prosedur dalam peraturan yang mengakomodir keberadaannya. Dalam hal ini di satu sisi pemerintah melihat perkembangan di masyarakat dan juga keberadaan entitas pemain baru dengan tetap memberi jaminan fairness bagi pemain lama, bahwa pemain baru pun diatur (harus) mengikuti peraturan yang sama seperti ijin operasional kendaraan angkutan termasuk KIR yang dengan penyesuaian dalam aturan baru tersebut.

Pembelajaran Bersama
Dari bagian awal tulisan di atas, saya tidak mendikotomikan ke dalam dua entitas taksi dan taksi online, sebab dikotomi tersebut tidak sepenuhnya benar. Ambil contoh taksi BlueBird Group (angkutan umum taksi) juga dilengkapi layanan aplikasi online juga. Itu sebabnya case ini saya menggunakan angkutan umum dengan layanan transportasi berbasis aplikasi. Bisa saja (seperti contoh taksi Blue Bird Group) sama-sama menggunakan aplikasi pemesanan online, namun yang jelas berbeda adalah model bisnisnya dengan layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Uber, Grab Car, GoJek, Grab Bike dll yang berbasis Sharing Economy. Pasca demo penolakan layanan transportasi berbasis aplikasi sebelumnya ( 14 Maret 2016 ) yang terjadi 8 hari sebelum demo yang lebih besar disertai bentrokan 22 Maret 2016, saya melihat polemik semakin memanas pro dan kontra terhadap masalah ini, termasuk ranah pembahasannya pun ada yang fokus, konstruktif meski ada juga melebar. Setidaknya kita lihat partisipatif masyarakat dalam berekspresi seperti beropini menjadi bagian pembelajaran bagi kita semua.

Mengamati perkembangan, pembicaraan yang hangat sampai mengkristal menjadi polemik di media massa serta media sosial. Saya gunakan kesempatan ini juga untuk kita bersama-sama belajar tentang salah satu gelombang ekonomi baru ini yang disebut Sharing Economy. Mengacu pada artikel saya (2015) Sharing Economy yang secara harafiah dapat diterjemahkan kedalam terminologi Ekonomi Berbagi meskipun belum ada konsensus resmi mengenai terminloginya dalam bahasa Indonesia. Sehingga ijinkan saya untuk kembali menggunakan istilah aslinya Sharing Economy dalam pembahasan lebih lanjut.
Sharing Economy dimulai dikelanl munculnya CrowdEconomy (istilah pada awalnya) yang perannya merupakan bagian dari kegiatan yang lebih besar yang kita kenal dengan CrowdSourcing. Crowd Sourcing merupakan gerakan kolaboratif dari berbagai [banyak] resourcesses (sumber daya) tak terbatas pada waktu (24/7, 24 jam dlm 7 hari kerja), tempat/geografi (negara), lintas budaya dsb. Itu semua dimungkinkan oleh platform internet yang kita gunakan untuk berkomunikasi, hiburan, berbisnis sampai pada gerakan kolaborasi seperti CrowdSourcing ini.

Gerakan CrowdSourcing ini mulai eksis saat krisis/resesi melanda Amerika dan Eropa sejak 2008. Pada waktu itu krisis menyentuh semua sektor yang tidak hanya mengakibatkan lowongan pekerjaan tidak ada, namun terjadi pengurangan tenaga kerja (PHK) tidak terkecuali seretnya likuiditas (pencarian dana) perbankan dalam memberi program pinjaman usaha (loan program). Saat itulah munculah layanan servis CrowdSourcing tawaran pekerjaan paruh waktu yang dikenal dengan istilah freelance yang digagas oleh platform Elance, dimana pengusaha bisa fleksibel berbagi kesempatan dan mendapatkan berbagai resource (sumber daya) dengan lebih fleksible (tidak terikat), biaya yang kompetitif (lebih eknomis) dan tenaga kerja mendapatkan kesempatan bekerja di saat peluang kerja sangat terbatas saat krisis tersebut.

Di saat personalan finansial membatasi ruang gerak perbankan dalam memberi fasilitas kredit. Padahal di saat yang sama, perusahaan harus bertahan dengan menghemant sumber daya, merumahkan karyawan bahkan sampai harus merasionalisaikan (PHK). Otomatis, saat krisis tersebut jumlah pengangguran membengkak dan penyerapan tenaga kerja terhambat. Di saat krisis selalu ada peluang, begitu orang optimis bersikap positif. Lantas muncul berkembangnya bisnis baru start-up, menjadi solusi untuk bertahan hidup yang pada jangka panjang terbukti menjadi bagia dalam penciptaan lapangan kerja baru yang tidak bisa diserap perusahaan besar akibat krisis waktu itu. Bisnis start-up model CrowdSourcing ini, bentuknya sangat ramping memungkin untuk hanya fokus pada hal yang bisnis pokok (core business) berikut sumber dayanya (resource-nya) dalam hal ini tenaga kerjanya pun bisa dengan sistem CrowdSource melibatkan freelance dengan sistem kontrak dalam waktu tertentu (3 bulan, 6 bulan dst). Namun persoalan modal keuangan menjadi persoalan besar bagaimana bisnis start-up untuk berkembangan ke tahap berikutnya. Pada tahap ini lah hadir CrowdFunding melalui berbagai platform seperti Lending Club, Kickstarter yang mengisisi kekosongan fungsi funding tersebut. Dengan platform CrowdFunding ini mampu mengumpulkan dana dari usaha kolaboratif dan menyalurkannya sesusai bisnis proses masing-masing platfrom.
*Kalau di Indonesia salah satu platform CrowdFunding KitaBisa.Com. Begitu mereview kembali beberapa saat lalu ada program patungan donasi Bangun Kembali #MasjidTolikara Papua, kemudian yang terakhir dan masih hangat #RioHaryantoF1-Indonesia Menuju Formula 1, Anda akan teringat beberapa program dari KitaBisa.Com ini

Agar lebih memudahkan lagi untuk mencerna prinsip dasar sharing economy ini, berikut saya sertakan case sharing economy dalam bisnis penyewaan kamar oleh pemilik rumah yang kamarnya tidak berpenghuni tetap (vacant/unoccupied room). Model bisnis ini yang digarap oleh AirBnB. Dari contoh case pada video berikut dikisahkan ada pemilik dua rumah pada kota yang berbeda, dimana beberapa kamar tidak digunakan. Pemilik rumah tidak punya pengalaman untuk menyewakan rumah/kamarnya harian sebagai layaknya bisnis hotel atau cottage/villa. Platform AirBnB kemudian hadir menjembatani sang pemilik rumah untuk mempromosikan berikut fasilitas transaksi dari pengguna (consumer) AirBnB dari berbagai negara. Singkatnya sang pemilik rumah sharing kamar yang dimilikinya untuk ditawarkan bagi pelancong di kota tersebut dengan harga yang kompetitif. Lebih lanjut dapat dilihat pada video yotube dibawah ini.

Semoga penjelasan 3 paragraf dan ilustrasi video di atas dapat memberi gambaran singkat tentang Sharing Economy. Namun bila Anda ingin menggali lebih dalam tentang CrowdSourcing, CrowdFunding beserta contoh kasus (case) yang riil, silakan baca artikel saya satu tahun silam (2015)

Berkaca pasca kejadian demo dan bentrokan 22 Maret 2016, ada hal yang harus direnungkan tentang perkembangan jaman. Tentu perkembangan jaman harus dimaknai sebagai perubahan juga. Sesuatu yang tidak pernah abadi di dunia ini adalah perubahan. Hal ini tidak terkecuali pada bisnis berikut aspek lainnya, apalagi saat ini gelombang perkembangan jaman,dengan perkembangan teknologi dalam hal ini disruptive technology yang merombak struktur kemampanan termasuk lansekap bisnis, belum lagi munculnya tenaga terampil golongan millenials (profesional muda yang lahir antar 1981-1994) dengan gaya berbisnis yang cepat, dinamis dan berani hadapi resiko dan konfrontasi. Kita bisa lihat contoh sekumpulan anak muda di balik gebrakan CrowdSourcing Go-Jek, Teman Ahok, KitaBisa.Com, Change.Org, KawalPemilu.Org yang sekarang tidak bisa dipandang sebelah mata. Keberadaan dan kesuksesan mereka dalam waktu singkat menjungkirbalikan paradigma lama dan memsubsitusikan dengan paradigman baru yang menjadi ‘currency‘ dari suatu perubahan saat ini!

Saya mencoba beri masukan solusi bagi pemain lama untuk ranah bisnis, terutama sesuai dengan tema yang tadi saya bahas di atas, dalam hal ini bisnis taksi. Penerapan Teknologi Informasi (IT) dengan keunggulan layanan online sudah menjadi atribut yang signifikan meningkatkan daya saing sekaligus keunggulan kompetitif bisnis. Mengadopsi teknologi informasi perlu investasi yang tidak sedikit, namun itu kritikal untuk proyeksi bisnis ke depan. Bahkan sejak tahun lalu dimungkinkan perusahaan taksi untuk mengadakan kerjasama dengan layanan transportasi berbasis aplikasi GrabTaxi.
Gambaran sederhannya seperti yang pernah dilakukan Toko Buku Barnes & Noble beberapa tahun silam, perang ‘berdarah-darah‘ menentang kehadiran Toko Buku Online Amazon yang kemudian bertransformasi menjadi Toko Online untuk semua produk. Akhirnya Barnes & Noble pun melebarkan pasarnya dari jaringan toko buku fisik (yang dikenal dengan istilah Brick & Mortar) untuk kemudian merambah ranah Online BarnesAndNoble.Com. Sama seperti hal nya saat pemain besar perusahan penerbangan (airlines) menghadapi munculnya Low Cost Carrier (LLC) airline beberapa tahun silam, dimana Garuda Indonesia dengan inovasinya melahirkan Citi Link untuk segmen LCC-nya, Singapore Airlines dengan Tiger Air, Qantas dengan Jet Star. Mereka adaptif dengan perubahan mampu bertahan sekaligus menciptakan segmen baru.
Saya punya formula plan, strategi untuk adaptasi, bertahan sekaligus melakuan inovasi model bisnis angkutan umum taksi ini, cuma terlalu panjang kalau harus diuraikan lagi di sini ;).
Dari uraian pemikirian di atas, pada akhirnya kuncinya pada sikap dan pola pikir yang progresif (growth mindset) berani menerima perubahan, adaptif dan bertindak. Take action!

*image credit: Renjith Krishnan-FreeDigitalPhotos.Net

Tentang Penulis : JM Zacharias ( @jmzacharias ) saat ini berprofesi sebagai business strategist, berkarir profesional dalam bidang produk, sales dan marketing lebih dari satu dekade. Pengalaman karir profesionalannya di berbagai industri meliputi retail, consumer electronic, teknnologi informasi dan telekomunikasi baik Business to Customer (B2C) maupun Business to Business (B2B). Dengan beragam pengalaman di perusahaan multinasional, nasional serta startup pada bidang teknologi, sales marketing dan manajemen serta iklim kerja lintas budaya antar bangsa dalam portofolio karirnya di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara turut memperkaya wawasan dan melebarkan preperspektif untuk terus belajar dan berbagi. Mengkomunikasikan ide dan strategi bisnis dilakukannya dalam bentuk artikel, pelatihan dan kegiatan konsultasi. Informasi detail dapat di lihat pada JMZacharias.Com Strategi Bisnis & Teknologi . Anda dapat mengubungi melalui tautan kami.

Byjmzachariascom

Crowdsourcing and Start-Up in Crowd Economy Era

Crowsourcing … crowdfunding  seem  familiar for us as our daily activity close to internet, news, social media and other channel. Quite common  event can muster the crowd empowered by internet. Yes, it is the crowd, but still long shoot to be classified as crowdsourcing. Ehm, starting spark some headache? I hope not, just follow me get deeper through the  sharing I’ve got in  CSW Summit 2015 in Jakarta  last week and mixed with  some references  from internet.

Crowdsourcing, Crowdfunding and Crowd Economy.

Epi Ludvik Nekaj, the founder of CrowdSourcing Week asserts crowd sourcing is about participation. Crowd sourcing is more than marketing approach, it changes business model and shift paradigm such from banking to crowdfunding platform and  the growth of customization product (co-creation process) supported on crowdsourcing project beside common business model such mass production.

Dennis List, Co-Founder of Rocki also emphasizes crowdfunding more than finance. Crowdfunding campaign need crowd and also  good product. He also adds that in crowdsourcing the value proposition is Win Win (‘WE Mentality’, ‘Think WE’).

Crowdsourcing empowering people to participate in particular mission, including  participation to raise money (crowdfunding) that the whole process called crowd economy. This crowd economy started for reason to cope the impact of global recession since 2008. At that time, that crisis has spread in  every sector affected no job offering,  loan program etc. Then raised crowdsourcing platform such increasing freelance job offering (Elance), crowdfunding platform (Lending Club, Kickstarter) etc to fill in that gap.

Crowdsourcing  vs Social Network.

Crowdsourcing and social network are about crowd. People sometimes think if having huge number of social media follower means getting the crowd. Does it can classify as crowd sourcing? In term of number, it’s crowd but not guarantee in  productivity matter. I put productivity issue here, still relate with what Epi’s thought in his session  (you can see from his slideshare also slide # 27)  about new social currency crowdsourcing=social productivity. He also put good analogy between srowdsourcing and social media.

– Crowdsourcing spawns  innovation

– Social network  spawns connection

Epi states crowdsourcing also is about passion and talent, for people who have passion to be part of  something innovative.

Crowsourcing and Crowd Role

In Crowdsourcing, its  platform muster the crowd participation  to support company/seeker as Dr. Michael Gebert  called it  in his presentation as Conceptual Risk Framework. The crowdsourcing platform can support the mission relate to Crowdfunding, Open Innovation, Social Productivity, Sharing Economy. Based on mission and goal, it could be different form one to another project such raising funding, co-creation, life improvement and others. Epi gives  crowdsourcing platform example like crowdfunding (KickStarter,LendingClub), Open Innovation (LocalMotors), Social Productivity (Xprize, Open Garden) and Sharing Economy  (Uber, Airbnb).

 5P Crowd Economy

The 5 Pillars of Crowd Economy consist of people, purpose, participation, productivity and platform. Regarding implementation of 5P Crowd Economy Epi emphasizes  some points to remind, below:

People.The start-up not only give their priority on  platform first, but starting from people, what the start-up doing  and goal, must answer  people problem, human centric embedded to empowering people and help communities better live.

Purpose.In the long run to create meaningful experience, start-up must be face many valleys, not just expecting jumping on the peak of the mountain. I like Epi’s phrase “Fail & Fast”, don’t  go first or only ready for success, shoot the failures, fast learn from that. He give an example when starting internet service, starting to maintain with reasonable target user (not expect huge number first), learn from that and gradually increasing target. It doesn’t just go directly  to reach high traffic   to impress the angle investor but missed the fundamental thing.

Participation.Beside supporting to get funding through the project, the crowd participation emphasizes on co-creation and shared value during the process and  product value.

Productivity.The productivity along this process must be deliver better, faster, cheaper and more efficient process. And those outcomes fully supported especially in this digital world.

Platform.As  mentioned before not just relying only platform in the first beginning. The platform itself will elaborate with the others as medium to interact  and drive the results. Technolgy fully supporting the platform starting from mobile network, mobile application,  big data, cloud computing, real-time processing, internet of things and many more.

Epi defines crowd economy from those five pillars as a dynamic ecosystem of productive people who participate through a platform with a purpose to achieve mutually beneficial goals.

Crowdsourcing and Crowdfunding Success Story: Rocki

One crowdfunding platform, Kickstater enable the start-up create the market before even launching. To know how it works, refer to crowdsourcing and crowdfunding success story: Rocki which I collected from some sources and got  from Dennis itself. Nick NM Yap and Dennis List (the Rocki founder) started Rocki in conceptual of Project RHM (Revolutionize Home Music) in February 2013. As Dennis told during his interview with blogcritics.org, they focus on develop music and technology especially audio streaming instead of video streaming that was the others focus on at that time. Started in crowdsourcing approach, mustered people with extensive experience in media streaming hardware and software in project team, doing co-creation and developing ROCKI plug-in would enable all speaker to have Wifi audio streaming feature.


Rocki’s proof of concept video during the kickstarter campaign.

Rocki is one  good example of running a successful kickstarter campaign got  initial target $50K in first day (November 25th 2013) and  raising over $220K in 20 days  campaign (December 20th 2013). Dennis also share during that campaign, everything has to do with crowdsourcing such using social media,  press coverage   to reach people (supplier, potential buyer) to involve in and also well prepare for next step including production phase and shipping. Even after getting funding their initial target on 1st day, Dennis tell me, as soon as possible they reserved production line. Beside got more than initial target, they successfully managed product shipping on time within 3 months of the kickstarter funding  and also keep participating crowdsourcing global event. They keep raising the bar through innovation.


Rocki’s product teaser on Youtube during the kickstarter campaign.

If you see the remark on that video teaser during their  kickstarter campaign above, you will notice  the crowdsource supported the video production. The video itself fundamental necessity to successfully pitch  a crowdfunding project. The good one KickStarter provides how to create product video teaser complete with studio that will facilitate  the crowd.


KickStarter’s video making guidance & studio facilities.

At the end of the session Dennis who also secured $1 M funding  for another project (Omate Smartwatch)  gives closing statement, reminding start-up not just focus on the funding part of  crowdfunding,  but need to build the crowd because no one can do all that on their own. So … CROWD it!

*imagre credit: taken while session been held

 

About the author: JM Zacharias (@jmzacharias) currently works as a business strategist, professional career in the fields of product, sales and marketing more than a decade. His professional career experience in various industries including retail, consumer electronics, information and telecommunications technology both Business to Customer (B2C) and Business to Business (B2B). Having diverse experience in national, multinational companies, and startup; in the areas of technology, marketing and sales management, cross-culture climate among nations in his career portfolio in the Asia Pacific region and Southeast Asia helped him enrich and widen preperspective to continue to learn and share. Communicating ideas and business strategy are some of his activities beside writing article,delivering training and consultancy activities. Detailed information can be viewed on JMZacharias.Com Business Strategy & Technology www.jmzacharias.com. You can also contact him through this link